Memang enak mengumbar lisan, tapi jangan tanyakan akibatnya. Hanya sepatah kata,
tanpa disadari bisa menjadi sebab bagi seseorang untuk masuk ke jurang neraka
yang amat dalam. Nabi SAW bersabda:
“Sesungguhnya, ada seseorang yang
berkata sepatah kata saja di mana dia menganggap tak ada dampaknya namun itu
(menjadi sebab) dia terlempar ke dalam neraka sejauh tujuh puluh musim.” (HR.
at-Tirmidzi)
Kebanyakan orang yang masuk neraka juga karena lisannya,
seperti sabda Nabi SAW:
“Adakah yang menenggelamkan hidung (wajah) manusia ke
dalam neraka selain dari hasil perbuatan lisan mereka?” (HR. Ahmad)
Sabda
Nabi SAW tersebut menunjukkan bahwa lisan adalah penyebab yang paling banyak
menjerumuskan manusia ke dalam neraka, meskipun dia seorang muslim. Namun, siksa
yang menimpa muslim pasti ada akhirnya.
Para sahabat yang memahami betapa
dahsyatnya bahaya lisan, sangat berhati-hati menjaga lisannya. Ibnu Mas’ud ra.
berkata: “Tiada yang lebih layak untuk banyak dipenjarakan selain dari lisan
saya.”
Iblis juga memahami hal ini. Menjerumuskan manusia ke dalam dosa
lisan menjadi wilayah garap utamanya. Maka diangkatlah seorang anaknya menjadi
pasukan khusus penyebar gosip. Qatadah menyebutkan, Iblis memiliki anak bernama
al-Masuth yang bertugas khusus untuk membuat gosip, menyebarkan kabar burung
yang tak jelas asalnya dan belum tentu kebenarannya, sekaligus menyebarkan
kedustaan. Al-Masuth memperalat orang-orang yang hobi menyebar gosip menjadi
perpanjangan lidahnya.
Dosanya Sesuai dengan Andilnya
Gosip berpotensi besar merusak kehormatan muslim, merapuhkan ukhuwah
Islamiyah dan bahkan memicu terjadinya peperangan antara kaum muslimin. Seperti
terjadi pada persitiwa ‘haditsul ifki’, berita dusta, di mana banyak rumor
berkembang bahwa ummul mukminin Aisyah telah berbuat tidak senonoh dengan
sahabat Shafwan. Akan tetapi Allah membersihkan nama beliau ra, sekaligus
mengancam pelakunya dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang ingin
agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang
beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat.” (QS. an-Nuur:
19)
Orang-orang yang menyebarkan gosip tidak berada pada satu level dosa,
tetapi tergantung besar kecil andilnya dalam menyebarkan gosip. Allah berfirman
tentang orang-orang yang ikut andil dalam haditsul ifki:
“Tiap-tiap seseorang
dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara
mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu
baginya azab yang besar.” (QS. an-Nuur: 11)
Untuk menyebarkan berita bohong, setan memiliki cara yang halus dan licik. Dia tidak membisikkan ke hati manusia yang menjadi perpanjangan lidahnya untuk menyebarkan berita yang seluruhnya dusta. Tetapi dia menyelipkan berita yang benar di tengah tumpukan segudang kedustaan. Sehingga ada alasan untuk membela diri bahwa yang dikatakannya tidak semuanya salah, tapi ada juga yang benar.
Alasan lain, pihak yang digosip tidak marah, bahkan merasa senang. Seperti terjadi hari ini, banyak artis malah bangga menjadi obyek gosip, meski isinya miring. Kadang-kadang justru membuat sensasi agar digosipkan demi mendongkrak kete-narannya. Seperti pepatah Arab ‘bul zam-zam fa tu’raf’, kencingilah zam-zam niscaya engkau akan terkenal. Alasan ini tidak merubah status larangan menggosip orang, menceritakan semua kabar yang didengar. Nabi SAW memvonis orang yang gemar menceritakan setiap kabar yang didengarnya dengan predikat ‘pendusta.’ Beliau SAW bersabda:
“Cukuplah seseorang dikatakan dusta jika dia menceritakan setiap apa yang dia dengar.” (HR. Muslim)
Mengapa orang yang menceritakan semua yang didengarnya divonis sebagai pendusta? Karena tidak setiap kabar yang sampai kepadanya itu fakta yang benar-benar terjadi. Besar kemungkinan bahkan pasti ada diantaranya yang ternyata dusta. Jika dia menceritakan semua yang didengarnya, berarti ada juga berita dusta yang dia ceritakan kepada orang lain, maka jadilah dia pendusta.
Di sisi lain, ada informasi yang meski benar namun tidak boleh diceritakan kepada orang lain. Seperti berita tentang aib maupun rahasia orang lain. Inilah yang disebut dengan ghibah. Nabi SAW bersabda: “Tahukah kalian, apakah ghibah itu? Ghibah adalah ketika engkau menceritakan tentang saudaramu apa yang tidak dia sukai?” Para sahabat bertanya: “Bagaimana menurut Anda jika apa yang kami katakan memang ada pada saudaraku itu?” Beliau menjawab, “Jika apa yang kamu katakan benar, maka berarti engkau telah menghibahnya, dan jika yang kamu katakan tidak ada padanya maka berarti engkau telah berdusta tentangnya.” (HR. Muslim)
Kegiatan ‘memakan bangkai’ saudaranya dan mengumbar gosip, menyebarkan kabar burung dan rumor dianggap sebagai menu yang renyah oleh kebanyakan orang. Ada yang bertujuan untuk menjatuhkan kehormatan, sekedar mengisi waktu atau untuk menghibur diri:
“Dan kamu menganggapnya suatu yang ringan saja, padahal di sisi Allah adalah besar.” (QS an-Nuur: 15)
(Abu Umar Abdillah/Majalah Ar Risalah)
0 komentar:
Posting Komentar